Perkebunan
kopi Indonesia telah dimulai sejak abad 18 diperkenalkan oleh bangsa Belanda
dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan perdagangan dunia. Kopi Indonesia merajai pasar
dunia pada abad 19 dengan memasok biji kopi jenis Arabica ke seluruh
dunia. Namun pada akhir abad ke-19 terjadi serangan karat
daun yang menghancurkan hampir seluruh perkebunan kopi di
Indonesia.
Kolonial Belanda mengadakan penelitian dan mendatangkan bibit kopi jenis Liberika dan Robusta sebagai pengganti Arabika, namun yang dapat berkembang baik adalah jenis Robusta. Kopi jenis Robusta relatif lebih tahan terhadap penyakit karat daun dan juga dapat berbuah jauh lebih banyak dibanding kopi jenis lain. Sehingga sejak saat hingga kini perkebunan kopi di Indonesia didominasi oleh kopi Robusta.
Sistem pemeliharaan kopi robusta dan teori yang dikembangkan saat ini masih banyak mengadopsi sistem pemeliharaan kopi arabika pada abad ke-19. Hasil pengembangan tersebut didapat kemajuan pengelolaan sistem pengelolaan tanaman kopi terutama adalah identifikasi hama dan penyakit tanaman serta cara penanggulangannya. Begitu juga bibit kopi baik jenis robusta maupin arabica telah banyak dihasilkan klon dan varietas unggulan nasional.
Namun demikian, sistem penanaman belum mengalami perkembangan yang berarti seperti populasi tanaman perhektarnya termasuk fungsi penggunaan naungan serta pemupukan. Dengan begitu maka perkembangan produktivitas tanaman kopi perhektar di Indonesia tidak beranjak dari 600 kg perhektar. Kondisi itu sangat jauh berbeda dibandingkan dengan negara Vietnam yang mampu menghasilkan 3 ton per hektar, terlepas dari perbedaan cuaca antara Indonesia dan Vietnam.